Anak Sopir Jerami – Di balik jalanan desa yang penuh debu dan bau jerami yang menyengat, seorang gadis muda bernama Rofidah tumbuh bersama mimpi-mimpi besar. Ayahnya adalah sopir pengangkut jerami—pekerjaan yang tak pernah di lirik, apalagi di hargai. Setiap pagi, Rofidah melihat ayahnya berkutat dengan beban berat, bukan hanya jerami di atas truk, tapi juga beban hidup keluarga mereka.
Rofidah bukan anak dari orang terpandang. Rumahnya bukan istana, bahkan dindingnya retak di sana-sini https://www.webberssteakhouse.com/. Tapi siapa sangka, gadis dari pelosok desa itu kini menjadi mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM), kampus impian jutaan anak muda Indonesia. Dan yang lebih mengejutkan, ia di terima secara gratis, lewat jalur prestasi dan program beasiswa yang tak sembarang orang bisa raih.
Sistem Pendidikan: Apakah Masih Milik Kaum Berduit?
Kisah Rofidah membongkar wajah asli pendidikan di Indonesia—sistem yang selama ini di anggap hanya berpihak pada mereka yang punya uang. Masih terlalu banyak yang percaya bahwa hanya anak pejabat, anak pengusaha, atau anak konglomerat yang bisa duduk manis di bangku universitas ternama slot depo 10k. Tapi Rofidah datang dengan amarah yang di sulap menjadi prestasi, membuktikan bahwa kemiskinan bukan kutukan, melainkan cambuk untuk berlari lebih cepat.
Di saat teman-teman sebayanya sibuk mengejar nilai demi nilai di bimbingan belajar mahal, Rofidah belajar di bawah lampu petromaks, karena listrik di rumahnya sering padam. Buku-buku bekas dari kakak tingkat menjadi ‘senjatanya’, dan ponsel usang milik ayahnya jadi sumber informasi daring satu-satunya. Tapi ia tidak mengeluh. Justru ia gunakan itu semua untuk menampar anggapan bahwa keterbatasan adalah penghalang.
Ayah Sopir Jerami: Pahlawan Tanpa Seragam
Banyak orang menyepelekan pekerjaan ayah Rofidah. “Hanya sopir pengangkut jerami,” kata mereka. Tapi bagi Rofidah, ayahnya adalah tulang punggung dan penyemangat hidup. Setiap kali melihat ayahnya mengangkat jerami hingga peluh bercucuran, ia tahu bahwa ia harus belajar lebih keras. Ia tahu bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk mengangkat derajat keluarganya.
Ayah Rofidah bukan hanya mengantar jerami, tapi juga harapan. Harapan bahwa suatu hari, putrinya bisa duduk di bangku kuliah, mengenakan almamater kebanggaan, dan membuktikan bahwa pekerjaan kasar tak selamanya menjadi takdir yang di wariskan. Rofidah membawa darah pekerja keras dalam dirinya, dan itu yang membawanya ke UGM.
UGM dan Peluang yang Tidak Pilih Kasih
Masuk UGM bukan perkara mudah. Saingannya puluhan ribu, bahkan ratusan ribu slot bonus new member. Namun Rofidah tidak gentar. Ia mendaftar melalui jalur SNBP, dan memanfaatkan program beasiswa KIP Kuliah yang di berikan pemerintah. Ia tahu peluangnya kecil, tapi ia juga tahu bahwa yang kecil bukan berarti mustahil.
Dan saat pengumuman di terima datang, tangis itu pecah. Bukan hanya dari Rofidah, tapi juga dari ayahnya yang selama ini menahan semua lelah dalam diam. Tak ada pesta, tak ada ucapan selamat yang mewah. Tapi malam itu, rumah sederhana mereka penuh dengan haru dan doa.
UGM, universitas kebanggaan Indonesia, tidak menutup pintu bagi anak desa. Tapi kisah ini juga membuka mata: berapa banyak anak seperti Rofidah yang gagal kuliah hanya karena tak ada uang? Berapa banyak potensi yang terkubur hidup-hidup karena sistem masih terlalu rumit, terlalu mahal, terlalu memihak?
Saatnya Pendidikan Jadi Hak, Bukan Privilege
Rofidah tidak hanya mencetak sejarah untuk dirinya sendiri, tapi juga memprovokasi kita semua. Ia membuktikan bahwa anak dari keluarga sederhana bisa menginjakkan kaki di kampus impian. Tapi apakah semua anak dari keluarga miskin punya keberuntungan yang sama?
Jawabannya: belum tentu.
Negara harus membuka lebih banyak pintu untuk anak-anak seperti Rofidah. Pendidikan seharusnya jadi hak dasar, bukan sekadar privilese untuk mereka yang mampu. Program seperti KIP Kuliah harus lebih disosialisasikan dan dipermudah aksesnya slot bet. Tak boleh lagi ada anak pintar yang terpaksa berhenti sekolah karena dompet orang tua tak sekuat semangat mereka.
Rofidah, Simbol Perlawanan
Hari ini, Rofidah berjalan menyusuri koridor UGM, mengenakan jas almamater kuning dengan kepala tegak. Ia bukan hanya mahasiswa, tapi simbol perlawanan. Perlawanan terhadap stigma, kemiskinan, dan diskriminasi pendidikan. Ia bukan anak pejabat, bukan keturunan pengusaha. Tapi ia punya mimpi, dan itu cukup untuk membakar dunia.
Baca juga: https://www.pa-jakartatimur.net/
Kisah Rofidah adalah cambuk bagi kita semua. Sebuah pengingat bahwa mimpi tidak pernah mengenal kasta. Bahwa siapa pun bisa menang, asal punya tekad dan di beri kesempatan. Dunia pendidikan butuh lebih banyak cerita seperti Rofidah. Bukan karena kisahnya langka, tapi karena anak-anak hebat seperti dia terlalu sering diabaikan. Sekarang, giliran kita bertanya: berapa banyak Rofidah lain yang belum terlihat? Dan apa yang sudah kita lakukan untuk menemukannya?